KATA PENGANTAR
Assalamuallaikum.wr.wb
Alhamdulillah
Berkat Rahmat , Hidayah, serta inayah ALLAH SWT, serta berdasarkan hasil
Ijtihad (Pemikiran) dari saya, saya dapat menyelesaikan tugas Makalah Ushul
Fiqih yang berjudul tentang “QIYAS” yang disusun secara logis serta berdasarkan
pengetahuan dan kemampuan yang saya miliki.
Makalah
Ushul Fiqih ini diharapkan agar dapat menambah wawasan serta menambah
pengetahuan dan pemahaman tentang apa itu Qiyas dan hukum hukumnya dalam
pandangan Islam yaitu bagi diri saya pribadi dan kalian yang membacanya. Dan
semoga dengan dibuatnya makallah ini kita dapat mengetahui dan menyimpulkan
Qiyas Sebagai sumber hukum Islam dan ini pula termasuk metode dalam Ijtihad.
Wassalamuallaikum.
Wr.wb
A. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dari makallah
Ushul Fiqih tentang Qiyas adalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian Qiyas ?
2. Apa dasar hukum Qiyas dan rukun-rukun Qiyas
?
3. Apa syarat-syarat Qiyas dan bagaimana
kehujjahan Qiyas ?
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut :
1. Agar kita mengetahui pengertian Qiyas
2. Agar kita mengetahui dasar hukum Qiyas dan
rukun-rukun Qiyas
3. Agar kita mengetahui syarat-syarat Qiyas
dan kehujjahan Qiyas
4.
Mengetahui Konsep Qiyas Imam Syafii
5.
Mengetahui Ruang Lingkup Qiyas & Studi Kasusnya
C. PEMBAHASAN
Pengertian
qiyas
Qiyas menurut bahasa Arab berarti
menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B,
karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama,
wajah yang sama dan sebagainya & dapat dicontohkan pula dengan zakat misalnya
ada zakat yang berupa bahan makanan atau uang. Qiyas juga berarti mengukur,
seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula
membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Qiyas dalam istilah ushul, yaitu menyusul
peristiwa yang tidak terdapat nash hukumnya dengan peristiwa yang terdapat nash
bagi hukumnya. Dalam hal hukum yang terdapat nash untuk menyamakan dua
peristiwa pada sebab hukum ini .
Menurut para ulama ushul fiqh, ialah
menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya
dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain
yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat
antara kedua kejadian atau peristiwa itu. Dalam hal ini, mereka terbagi dalam
dua golongan berikut ini :
Golongan pertama, menyatakan bahwa qiyas
merupakan ciptaan manusia yakni pandangan para mujtahid. menurut Golongan kedua, Qiyas merupakan ciptaan
syari, yakni merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjat
ilahiyah yang dibuat syari, sebagai alat untuk mengetahui suatu hukum. Qiyas
ini tetap ada, baik dirancang para mujtahid maupun tidak. (Abdul Hakim, 1986 :
22-24). Agar lebih mudah memahaminya perhatikan contoh berikut :
Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang
perlu diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan
sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas
dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar
nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT :
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(minum) khamr, berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah
tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu
hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan.” (al-Mâidah: 90)
Antara minum narkotik dan minum khamr ada
persamaan, illatnya, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya,
sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan ‘illat itu ditetapkanlah
hukum meminum narkotik itu yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum khamr.
1.
Dasar hukum qiyas
Sebagian besar para ulama fiqh dan para
pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu
dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya mereka
berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang
boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan ada
pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas
apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang
dapat dijadikan dasar. Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai
dasar hujjah, ialah al-Qur’an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat. Firman Allah
Swt :
“Hai orang-orang yang
beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika
kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan
Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih
baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisâ’: 59).
Di dalam Hadis juga mengatakan, Setelah Rasulullah SAW melantik Mu’adz bin Jabal sebagai gubernur
Yaman, beliau bertanya kepadanya:
“Bagaimana (cara) kamu
menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab:
Akan aku tetapkan berdasar al-Qur’an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam
al-Qur’an? Mu’adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika
engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab: Aku akan
berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz
berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah
yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat
sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Ahmad Abu Daud dan
at-Tirmidzi)
2.
Rukun qiyas
a). Ashal, yang
berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar
nash. Ashal disebut juga maqis ‘alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih
(tempat menyerupakan), atau mahmul ‘alaih (tempat membandingkan);
b). Fara’ yang berarti
cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada
nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara’ disebut juga maqis (yang diukur)
atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);
c). Hukum ashal, yaitu
hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang
akan ditetapkan pada fara’ seandainya ada persamaan ‘illatnya.
d). ‘IIIat, yaitu
suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara’.
Seandainya sifat ada pula pada fara’, maka persamaan sifat itu menjadi dasar
untuk menetapkan hukum fara’ sama dengan hukum ashal.
3.
Syarat-syarat qiyas
a). Ashal dan fara’ berupa
kejadian atau peristiwa
b). Ada Hukum ashal
Ada beberapa syarat
yang diperlukan bagi hukum ashal, yaitu :
1. Hukum ashal itu
hendaklah hukum syara’ yang amali yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash.
2. ‘Illat hukum ashal
itu adalah ‘illat yang dapat dicapai oleh akal
3. Hukum ashal itu
tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berlaku khusus untuk satu peristiwa
atau kejadian tertentu.
c). Illat ialah suatu
sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum
ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara’ yang belum ditetapkan hukumnya,
seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada
perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan haramnya
hukum menjual harta anak yatim. ‘IlIat merupakan sifat dan keadaan yang melekat
dan mendahului peristiwa/perbuatan hukum yang terjadi dan menjadi sebab hukum,
sedangkan hikmah adalah sebab positif dan hasil yang dirasakan kemudian setelah
adanya peristiwa hukum.
4.
Kehujjahan Qiyas
Menurut ulama-ulama, bahwa qiyas itu merupakan
hujah syar’i terhadap hukum akal. Qiyas ini menduduki tingkat keempat, hujah
syar’i. sebab apabila dalam suatu peristiwa tidak terdapat hukum yang
berdasarkan nash, maka peristiwa ini diqiyaskan kepada peristiwa yang bersamaan
sebelum sanksi hukum itu dijatuhkan kepadanya. Disamakan dengan
peristiwa-peristiwa yang diqiyaskan itu. Begini yang diatur oleh syari’at.
Mukallaf memperluas pendirian, mengikut dan mengamalkan qiyas ini. Dibahaskan
kepada peristiwa yang berdasarkan nash. Qiyas ini diakui oleh hukum, Ulama
ushul fiqih berbeda pendapat terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum
syara’. Jumhur ulama ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan
sebagai metoda atau sarana untuk mengistinbathkan hukum syara’.
5.
Konsep Qiyas Imam Syafi’i
Imam Syafi’i
adalah Mujtahid pertama yang membicarakan Qiyas dengan patokan kaidahnya dan
menjelaskan asas asasnya. Disinilah Imam Syafi’I tampil kedepan memilih metode
Qiyas serta meberikan kerangka teoritis dan metodologisnya dalam bentuk kaidah
rasional namun tetap praktis, untuk itu Imam Syafi’i pantas diakui dengan penuh
penghargaan sebagai peletak pertama metodologi pemahaman hukum dalam Islam
sebagai satu disiplin Ilmu sehingga dapat dipelajari & diajarkan. Sebagai
dalil pengunaan Qiyas, Imam Syafi’I mendasarkannya pada firman Allah :
‘’Kemudian Jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia kepada Allah (Al Qur’an) dan
kepada Rasul (al Sunnah).’’ (Qs. An Nisa : 59)
Imam Syafi’I menjelaskan bahwa maksud kembalikan kepada Allah & Rasul itu, ialah
qiyaskanlah kepada salah satu Al Quran & Al Sunnah. Menurut Imam Syafi’i
peristiwa apapun yang dihadapi kaum muslimin, pasti terdapat petunjuk tentang
hukumnya dalam Al Qura’an, sebagaimana dikatakannya :
“Tidak ada satu peristiwa pun yang
dihadapi penganut agama Allah (yang tidak terdapat ketentuan hukumnya)
melainkan terdapat petunjuk tentang cara pemecahanya dalam kitabullah.’’
Ketegasannya ini, didasarkannya pada
beberapa ayat Al Qur’an antara lain :
“Dan kami turunkan Al Kitab (Al
Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu, petujuk, rahmat dan kabar gembira
bagi orang orang Muslim.’ (Qs. An Nahl : 89)
Al Qiyas itu adalah Metode berfikir yang
dipergunakan untuk mencari sesuatu (hukum peristiwa) yang sejalan dengan khabar
yang sudah ada, baik Al Quran maupun al Sunnah karena keduanya pengetahuan
tentang kebenaran yang wajib dicari.
“Maka ijtihad selamanya hanya boleh
dilakukan untuk mencari sesuatu (hukum suatu peristiwa). Mencari sesuatu itu
hanyalah dapat ditemukan dengan menggunakan berbagai argumentasi, dan
argumentasi itu adalah Qiyas.’’
D.
Ruang Lingkup dalam Qiyas atau
Fungsinya
Mengungkapkan hukum dari Al Qur’an
atau Al Sunnah, dikemukakannya :
“Semua peristiwa yang terjadi dalam kehidupan orang Islam, pasti terdapat
ketentuan hukumnya atau indikasi yang mengacu pada adanya ketentuan hukumnya.
Jika ketentuan hukum itu disebutkan maka haruslah diikuti, jika tidak maka
haruslah dicari indikasinya yang mengacu pada ketentuan hukum tersebut dengan
berijtihad. Ijtihad itu ialah Al Qiyas.”
Pernyataan tersebut, Menegaskan bahwa fungsi & Ruang Lingkup Qiyas itu sangat penting
dalam mengungkapkan hukum dari dalilnya (Al Quran Atau As Sunnah) untuk
menjawab tantangan peristiwa yang dihadapi kaum muslimin yang tidak secara
tegas disebutkan dalam Al Qur’an atau As Sunnah. Disini terlihat pula wawasan
pemikiran Imam Syafi’I yang berjangkauan kedepan, bahwa kaum Muslimin di dalam
hidupnya senantiasa akan menghadapi berbagai peristiwa baru yang tidak
disebutkan dalam Al Quran dan Al Hadis. Oleh karena setiap peristiwa tersebut
tidak terlepas dari adanya ketentuan hukum tetapi tidak dijelaskan Al Quran
atau al Sunnah tetapi dengan menggunakan Al Qiyas. Jadi Al Qiyas pada pandangan
Imam Syafi’I berperan besar dalam menggali hukum bagi peristiwa baru yang
dihadapi kaum muslimin.
E.
Penerapan Qiyas Imam Syafi’I terhadap
Pembaharuan Hukum Islam
Perlunya pembaharuan hukum atau
perubahan hukum adalah untuk menanggapi peristiwa baru yang bermunculan atau
menanggapi perubahan peristiwa hukum ijtihadi yang disebabkan perubahan makna.
Seperti kemajuan tekhnologi merupakan faktor pendorong yang kuat bagi timbulnya
peristiwa baru yang pasti ada hukumnya ataupun perubahan tekhnologi merupakan
faktor pendorong kuat bagi timbulnya peristiwa baru & perubahan peristiwa
lama, diantara peristiwa baru ialah :
1). Transplantasi organ tubuh,
termasuk kategori Jinayah qisas yang
sudah ada hukum larangannya, Firman Allah Swt : “Dan kami tetapkan terhadap mereka didalamnya (al Taurat) bahwa jiwa
dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, & luka luka (pun) ada qisasnya.’’ (QS. Al Maidah
: 45)
Dalam Hadis juga diterangkan : “Hai Anas, menurut kitabullah adalah hokum
qisas.” (Muhammad al-shan’niv, subul al salam, jild III, Mesir: Musthafa al
Babiy al- Halabiy, 1960, hal.240)
2). Transeksual yaitu laki laki
mengganti kelaminya menjadi bentuk kelamin wanita atau sebaliknya, merupakan
peristiwa baru (Far’). Hadis Nabi melarang seorang lelaki menyerupai wanita
atau sebaliknya, dengan alasan (‘Illah/makna dilarangnya) karena menyulitkan
penentuan status hukumnya. Sabdanya : “Rasulullah
Saw mengutuk lelaki yang bertingkah laku wanita & wanita yang bertingkah
laku lelaki. Dalam riwayat lain Rasulullah mengutuk lelaki yang menyaru wanita
dan wanita menyaru lelaki.” (Ibid, Jild IV, hal. 14.)
3). Bayi tabung, yaitu dengan
menitipkan sperma & ovum antara suami-istri sah kedalam rahim wanita lain
(Far’). Allah melarang zina (asl) & Nabi melarang memasukkan sperma ke
rahim wanita yang tak halal bagi pemilik sperma (asl). Firman allah Swt : “dan Janganlah kamu mendekati zina,
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang
buruk.” (QS. Al Israa : 32). Nabi saw menyatakan bahwa memasukkan sperma
kedalam rahim istri orang lain, diharamkan, sedangkan pada bayi tabung prosesnya
sama dengan yang dilarang Nabi Saw, sehingga dilarang melakukan bayi tabung
dengan meminjam rahim wanita lain.
4). Vasektomi & Tubektomi dalam
upaya keluarga berencana, membuat istri tidak melahirkan anak lagi (pemandulan
permanen). Nabi Saw melarang tabattul
& ihtisaa. Larangan tersebut terdapat dalam Hadis Riwayat al Bukhari
dari saad Ibn Abi Waqas. Ditemui ‘illah/ma’na dilarangnya karena dengan
perbuatan tersebut membuat lelaki atau wanita mandul (tidak meniadakan
kelahiran). Pada kasus vasektomi dan tubektomi (sterlisasi) (far’), ‘illah atau
ma’na tersebut terdapat pula, maka hokum vasektomi dan tubektomi sama dengan
hukum tabattul dan ihtisa yang dilarang.
Kesimpulan
Alhamdulillah, berkat Rahmat Allah Swt akhirnya telah selesailah pembuatan makallah ini
atau Ushul Fiqih yang berthemakan “Qiyas” dan dari sini dapat kita ambil
kesimpulan Bahwa Qiyas merupakan metode tentang menentukan hukum suatu masalah
yang tidak ditentukan hukumnya dalam Al Quran dan As Sunnah dengan cara
menganalogikan suatu masalah dengan masalah lain karena terdapat kesamaan Illat
(Alasan), Sehingga dapat Menumbuhkan daya berfikir kreatifitas umat Islam dalam
menjawab tantangan Zaman.
Dan dengan cara qiyas ini juga umat Islam
mampu dalam upaya pembinaan dan pengembangan hukum islam yang berfungsi
menjelaskan hal hal yang masih bersifat Zanni (Keraguan atau belum jelas),
misalnya hukum aborsi, kloning hewan, bayi tabung, pengunaan pil KB, hukum
sesar, merokok dll, dalam kehidupan yang kita alami ini. Karena qiyas juga
termasuk bentuk bentuk metode dalam ijtihad, hanya bedanya qiyas itu membandingkan
suatu hal. Sekian dari saya Salam, Senyum Saya dan Yakin Usaha Sampai, billahitaufiq wal hidayah
Wassalamuallaikum wr.wb
Daftar Pustaka
1.
Referensi, Buku Dinamika Qiyas dalam
Pembaharuan Hukum Islam (Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi’i) Dr. H. Sulaiman
Abdullah. Bab V (Qiyas)
2.
Referensi, Buku Ilmu Ushul Fiqih
(Prof. Dr. Rachmat Syafe’I, MA) Bab II Sumber Hukum (D. Qiyas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar