Senin, 30 September 2013

Makallah Qiyas


                                         KATA PENGANTAR

Assalamuallaikum.wr.wb
         Alhamdulillah Berkat Rahmat , Hidayah, serta inayah ALLAH SWT, serta berdasarkan hasil Ijtihad (Pemikiran) dari saya, saya dapat menyelesaikan tugas Makalah Ushul Fiqih yang berjudul tentang “QIYAS” yang disusun secara logis serta berdasarkan pengetahuan dan kemampuan yang saya miliki.
            Makalah Ushul Fiqih ini diharapkan agar dapat menambah wawasan serta menambah pengetahuan dan pemahaman tentang apa itu Qiyas dan hukum hukumnya dalam pandangan Islam yaitu bagi diri saya pribadi dan kalian yang membacanya. Dan semoga dengan dibuatnya makallah ini kita dapat mengetahui dan menyimpulkan Qiyas Sebagai sumber hukum Islam dan ini pula termasuk metode dalam Ijtihad.

Wassalamuallaikum. Wr.wb


                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       


A.     Rumusan Masalah
 Adapun rumusan masalah dari makallah Ushul Fiqih tentang Qiyas adalah sebagai berikut :
 1. Apa pengertian Qiyas ?
 2. Apa dasar hukum Qiyas dan rukun-rukun Qiyas ?
 3. Apa syarat-syarat Qiyas dan bagaimana kehujjahan Qiyas ?

B.     Tujuan Penulisan
 Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
 1. Agar kita mengetahui pengertian Qiyas
 2. Agar kita mengetahui dasar hukum Qiyas dan rukun-rukun Qiyas
 3. Agar kita mengetahui syarat-syarat Qiyas dan kehujjahan Qiyas
4. Mengetahui Konsep Qiyas Imam Syafii
5. Mengetahui Ruang Lingkup Qiyas & Studi Kasusnya


C.     PEMBAHASAN

Pengertian qiyas
        Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya & dapat dicontohkan pula dengan zakat misalnya ada zakat yang berupa bahan makanan atau uang. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
      Qiyas dalam istilah ushul, yaitu menyusul peristiwa yang tidak terdapat nash hukumnya dengan peristiwa yang terdapat nash bagi hukumnya. Dalam hal hukum yang terdapat nash untuk menyamakan dua peristiwa pada sebab hukum ini .
      Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu. Dalam hal ini, mereka terbagi dalam dua golongan berikut ini :
      Golongan pertama, menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia yakni pandangan para mujtahid. menurut Golongan kedua, Qiyas merupakan ciptaan syari, yakni merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjat ilahiyah yang dibuat syari, sebagai alat untuk mengetahui suatu hukum. Qiyas ini tetap ada, baik dirancang para mujtahid maupun tidak. (Abdul Hakim, 1986 : 22-24). Agar lebih mudah memahaminya perhatikan contoh berikut :
     Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT :

 “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr, berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan.” (al-Mâidah: 90)

     Antara minum narkotik dan minum khamr ada persamaan, illatnya, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan ‘illat itu ditetapkanlah hukum meminum narkotik itu yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum khamr.

1.     Dasar hukum qiyas
      Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar. Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah al-Qur’an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat. Firman Allah Swt :
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisâ’: 59).
Di dalam Hadis juga mengatakan, Setelah Rasulullah SAW melantik Mu’adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya:

“Bagaimana (cara) kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur’an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur’an? Mu’adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)

2.     Rukun qiyas
 a). Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis ‘alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul ‘alaih (tempat membandingkan);
 b). Fara’ yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara’ disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);
 c). Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya ada persamaan ‘illatnya.
 d). ‘IIIat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara’. Seandainya sifat ada pula pada fara’, maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara’ sama dengan hukum ashal.

3.     Syarat-syarat qiyas
 a). Ashal dan fara’ berupa kejadian atau peristiwa
 b). Ada Hukum ashal
 Ada beberapa syarat yang diperlukan bagi hukum ashal, yaitu :
 1. Hukum ashal itu hendaklah hukum syara’ yang amali yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
 2. ‘Illat hukum ashal itu adalah ‘illat yang dapat dicapai oleh akal
 3. Hukum ashal itu tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berlaku khusus untuk satu peristiwa atau kejadian tertentu.
 c). Illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara’ yang belum ditetapkan hukumnya, seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan haramnya hukum menjual harta anak yatim. ‘IlIat merupakan sifat dan keadaan yang melekat dan mendahului peristiwa/perbuatan hukum yang terjadi dan menjadi sebab hukum, sedangkan hikmah adalah sebab positif dan hasil yang dirasakan kemudian setelah adanya peristiwa hukum.
                           
                                               
4.     Kehujjahan Qiyas
      Menurut ulama-ulama, bahwa qiyas itu merupakan hujah syar’i terhadap hukum akal. Qiyas ini menduduki tingkat keempat, hujah syar’i. sebab apabila dalam suatu peristiwa tidak terdapat hukum yang berdasarkan nash, maka peristiwa ini diqiyaskan kepada peristiwa yang bersamaan sebelum sanksi hukum itu dijatuhkan kepadanya. Disamakan dengan peristiwa-peristiwa yang diqiyaskan itu. Begini yang diatur oleh syari’at. Mukallaf memperluas pendirian, mengikut dan mengamalkan qiyas ini. Dibahaskan kepada peristiwa yang berdasarkan nash. Qiyas ini diakui oleh hukum, Ulama ushul fiqih berbeda pendapat terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum syara’. Jumhur ulama ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metoda atau sarana untuk mengistinbathkan hukum syara’.

5.     Konsep Qiyas Imam Syafi’i

    Imam Syafi’i adalah Mujtahid pertama yang membicarakan Qiyas dengan patokan kaidahnya dan menjelaskan asas asasnya. Disinilah Imam Syafi’I tampil kedepan memilih metode Qiyas serta meberikan kerangka teoritis dan metodologisnya dalam bentuk kaidah rasional namun tetap praktis, untuk itu Imam Syafi’i pantas diakui dengan penuh penghargaan sebagai peletak pertama metodologi pemahaman hukum dalam Islam sebagai satu disiplin Ilmu sehingga dapat dipelajari & diajarkan. Sebagai dalil pengunaan Qiyas, Imam Syafi’I mendasarkannya pada firman Allah :

‘’Kemudian Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia kepada Allah (Al Qur’an) dan kepada Rasul (al Sunnah).’’ (Qs. An Nisa : 59)

    Imam Syafi’I menjelaskan bahwa maksud kembalikan kepada Allah & Rasul itu, ialah qiyaskanlah kepada salah satu Al Quran & Al Sunnah. Menurut Imam Syafi’i peristiwa apapun yang dihadapi kaum muslimin, pasti terdapat petunjuk tentang hukumnya dalam Al Qura’an, sebagaimana dikatakannya :
                             
“Tidak ada satu peristiwa pun yang dihadapi penganut agama Allah (yang tidak terdapat ketentuan hukumnya) melainkan terdapat petunjuk tentang cara pemecahanya dalam kitabullah.’’

   Ketegasannya ini, didasarkannya pada beberapa ayat Al Qur’an antara lain :

“Dan kami turunkan Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu, petujuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang orang Muslim.’ (Qs. An Nahl : 89)

    Al Qiyas itu adalah Metode berfikir yang dipergunakan untuk mencari sesuatu (hukum peristiwa) yang sejalan dengan khabar yang sudah ada, baik Al Quran maupun al Sunnah karena keduanya pengetahuan tentang kebenaran yang wajib dicari.

“Maka ijtihad selamanya hanya boleh dilakukan untuk mencari sesuatu (hukum suatu peristiwa). Mencari sesuatu itu hanyalah dapat ditemukan dengan menggunakan berbagai argumentasi, dan argumentasi itu adalah Qiyas.’’

D.    Ruang Lingkup dalam Qiyas atau Fungsinya

Mengungkapkan hukum dari Al Qur’an atau Al Sunnah, dikemukakannya :

“Semua peristiwa yang terjadi dalam kehidupan orang Islam, pasti terdapat ketentuan hukumnya atau indikasi yang mengacu pada adanya ketentuan hukumnya. Jika ketentuan hukum itu disebutkan maka haruslah diikuti, jika tidak maka haruslah dicari indikasinya yang mengacu pada ketentuan hukum tersebut dengan berijtihad. Ijtihad itu ialah Al Qiyas.”

     Pernyataan tersebut, Menegaskan bahwa fungsi  & Ruang Lingkup Qiyas itu sangat penting dalam mengungkapkan hukum dari dalilnya (Al Quran Atau As Sunnah) untuk menjawab tantangan peristiwa yang dihadapi kaum muslimin yang tidak secara tegas disebutkan dalam Al Qur’an atau As Sunnah. Disini terlihat pula wawasan pemikiran Imam Syafi’I yang berjangkauan kedepan, bahwa kaum Muslimin di dalam hidupnya senantiasa akan menghadapi berbagai peristiwa baru yang tidak disebutkan dalam Al Quran dan Al Hadis. Oleh karena setiap peristiwa tersebut tidak terlepas dari adanya ketentuan hukum tetapi tidak dijelaskan Al Quran atau al Sunnah tetapi dengan menggunakan Al Qiyas. Jadi Al Qiyas pada pandangan Imam Syafi’I berperan besar dalam menggali hukum bagi peristiwa baru yang dihadapi kaum muslimin.


E.     Penerapan Qiyas Imam Syafi’I terhadap Pembaharuan Hukum Islam

    Perlunya pembaharuan hukum atau perubahan hukum adalah untuk menanggapi peristiwa baru yang bermunculan atau menanggapi perubahan peristiwa hukum ijtihadi yang disebabkan perubahan makna. Seperti kemajuan tekhnologi merupakan faktor pendorong yang kuat bagi timbulnya peristiwa baru yang pasti ada hukumnya ataupun perubahan tekhnologi merupakan faktor pendorong kuat bagi timbulnya peristiwa baru & perubahan peristiwa lama, diantara peristiwa baru ialah :

1). Transplantasi organ tubuh, termasuk kategori Jinayah qisas yang sudah ada hukum larangannya, Firman Allah Swt : “Dan kami tetapkan terhadap mereka didalamnya (al Taurat) bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, & luka luka (pun) ada qisasnya.’’ (QS. Al Maidah : 45)

Dalam Hadis juga diterangkan : “Hai Anas, menurut kitabullah adalah hokum qisas.” (Muhammad al-shan’niv, subul al salam, jild III, Mesir: Musthafa al Babiy al- Halabiy, 1960, hal.240)

2). Transeksual yaitu laki laki mengganti kelaminya menjadi bentuk kelamin wanita atau sebaliknya, merupakan peristiwa baru (Far’). Hadis Nabi melarang seorang lelaki menyerupai wanita atau sebaliknya, dengan alasan (‘Illah/makna dilarangnya) karena menyulitkan penentuan status hukumnya. Sabdanya : “Rasulullah Saw mengutuk lelaki yang bertingkah laku wanita & wanita yang bertingkah laku lelaki. Dalam riwayat lain Rasulullah mengutuk lelaki yang menyaru wanita dan wanita menyaru lelaki.” (Ibid, Jild IV, hal. 14.)

3). Bayi tabung, yaitu dengan menitipkan sperma & ovum antara suami-istri sah kedalam rahim wanita lain (Far’). Allah melarang zina (asl) & Nabi melarang memasukkan sperma ke rahim wanita yang tak halal bagi pemilik sperma (asl). Firman allah Swt : “dan Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Israa : 32). Nabi saw menyatakan bahwa memasukkan sperma kedalam rahim istri orang lain, diharamkan, sedangkan pada bayi tabung prosesnya sama dengan yang dilarang Nabi Saw, sehingga dilarang melakukan bayi tabung dengan meminjam rahim wanita lain.

4). Vasektomi & Tubektomi dalam upaya keluarga berencana, membuat istri tidak melahirkan anak lagi (pemandulan permanen). Nabi Saw melarang tabattul & ihtisaa. Larangan tersebut terdapat dalam Hadis Riwayat al Bukhari dari saad Ibn Abi Waqas. Ditemui ‘illah/ma’na dilarangnya karena dengan perbuatan tersebut membuat lelaki atau wanita mandul (tidak meniadakan kelahiran). Pada kasus vasektomi dan tubektomi (sterlisasi) (far’), ‘illah atau ma’na tersebut terdapat pula, maka hokum vasektomi dan tubektomi sama dengan hukum tabattul dan ihtisa yang dilarang.


                                  Kesimpulan

     Alhamdulillah, berkat Rahmat Allah Swt akhirnya telah selesailah pembuatan makallah ini atau Ushul Fiqih yang berthemakan “Qiyas” dan dari sini dapat kita ambil kesimpulan Bahwa Qiyas merupakan metode tentang menentukan hukum suatu masalah yang tidak ditentukan hukumnya dalam Al Quran dan As Sunnah dengan cara menganalogikan suatu masalah dengan masalah lain karena terdapat kesamaan Illat (Alasan), Sehingga dapat Menumbuhkan daya berfikir kreatifitas umat Islam dalam menjawab tantangan Zaman.

    Dan dengan cara qiyas ini juga umat Islam mampu dalam upaya pembinaan dan pengembangan hukum islam yang berfungsi menjelaskan hal hal yang masih bersifat Zanni (Keraguan atau belum jelas), misalnya hukum aborsi, kloning hewan, bayi tabung, pengunaan pil KB, hukum sesar, merokok dll, dalam kehidupan yang kita alami ini. Karena qiyas juga termasuk bentuk bentuk metode dalam ijtihad, hanya bedanya qiyas itu membandingkan suatu hal. Sekian dari saya Salam, Senyum Saya dan Yakin Usaha Sampai, billahitaufiq wal hidayah

Wassalamuallaikum wr.wb




                              Daftar Pustaka

1.      Referensi, Buku Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam (Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi’i) Dr. H. Sulaiman Abdullah. Bab V (Qiyas)
2.      Referensi, Buku Ilmu Ushul Fiqih (Prof. Dr. Rachmat Syafe’I, MA) Bab II Sumber Hukum (D. Qiyas)
3.       www.google.com, Pandangan Ulama tentang Qiyas & Model Makallah Qiyas

Kamis, 02 Mei 2013

Makalah Filsafat Islam



BAB 1 PENDAHULUAN

        Filsafat islam merupakan salah satu bidang studi islam yang keberadaannya telah menimbulkan pro dan kontra.  Sebagian mereka yang berpikiran maju1 dan bersifat liberal cendrung mau menerima pemikiran filsafat Islam. Sedangkan bagi mereka yang bersifat tradisional yakni yang berpegang teguh pada doktrin ajaran Al-qur’an dan Al-hadits secara tekstual, cendrung kurang mau menerima filsafat, bahkan menolaknya. Dari kedua kelompok tersebut nampak kelompok terakhir masih cukup kuat pengaruhnya di masyarakat dibandingkan dengan kelompok pertama.  Kajian filsafat islam baru di lakukan sebagian mahasiswa pada jurusan tertentu di akhir abad ke-20 ini. Sedangkan pada masyarakat secara umum seperti yang terjadi di kalangan pesantren, pemikiran filsafat masih di anggap terlarang, karena dapat melemahkan iman. Kalau pun di pesantren di ajarkan logika, yang pada hakikatnya merupakan ilmu yang mengajarkan cara berpikir folosofis, namun hal ini tidak di terapkan, melainkan hanya semata-mata sebagai hafalan2.
Berbagai analisis tentang penyebab kurang di terimanya filsafat dikalangan masyarakat Islam Indonesia pada umumnya adalah karena pengaruh pemikiran Al-Ghazali yang di anggapnya sebagai pembunuh pemikiran filsafat. Anggapan ini selanjutnya telah pula dibantah oleh pendapat lain yang mengatakan penyebabnya bukanlah Al-Ghazali, melainkan sebab-sebab lain yang belum jelas3.
Selanjutnya saat ini kajian dan penelitian filsafat telah banyak di lakukan, walupun dalam cara melihatnya masih di jumpai kekaburan. Amin Abdullah misalnya, mengatakan adanya kekaburan dan kesimpangsiuran yang patut disayangkan didalam cara berpikir kita, tidak terkecuali di perguruan tinggi dari kalangan akademis. Tampaknya, kita sulit membedakan antara Filsafat dan Sejarah Filsafat, antara Filsafat Islam dan Sejarah Filsafat Islam. Biasanya, kita korbankan kajian filsafat, karena kita selalu dihantui oleh trauma sejarah pada abad pertengahan, ketika sejarah filsafat islam diwarnai oleh pertentangan pendapat dan perhelatan pemikiran antara Al-Ghazali (1058-1111 M) dan Ibn Sina (980-1037 M) yang sangat menentukan jalananya sejarah pemikiran umat islam. Al-Ghazali mewakili golongan Ahli Sunnah, yakni pendukung setia Asy’Ariyah, sedangkan Ibn Sina mewakili pandangan filosof muslim. Meskipun orang sering mensitir ungkapan Hadits bahwa perbedaan pendapat dikalangan umat merupakan rahmat, namun ternyata kita tidak terbiasa menghadapi pertentangan pendapat dengan kepala dingin. Kita lebih terbiasa berpegang pada pendapat bahwa pemahaman kita atas suatu pandangan hidup dan cara berpikir tertentu sebagai sesuatu yang “mutlak” dan sudah “steril”, sehingga sulit diharapkan dapat terserapi oleh pendapat lain yang barangkali juga ada manfaatnya. Cara berpikir kita sangat diwarnai oleh pepatah: “ibarat orang melihat hutan, tertutup oleh sebatang pohon”. secara utuh dan secara jernih isi hutan yang serba beraneka ragam, baik alam fauna maupun floranya, belum lagi menyebut pemandangan indah dan alam pegunungan yang kadang ada ditengah hutan. Karena tertutup oleh sejarah filsafat islam yang penuh pro dan kontra, kita tidak dapat melihat substansi filsafat sebagaimana adanya. Cara berpikir dan cara pendekatan seperti itu, sudah barang tentu, sangat mempertumpul pisau kita dan bahkan merendahkan cakrawala pemikiran kita sendiri. Bukannya secara kebetulan, wawasan pemikiran kita dalam memprediksi kedepan dan mengambil suatu kesimpulan permasalahan seringkali meleset. Hal ini antara lain di sebabkan karena logika dan tata cara berpikir yang bnar yang merupakan inti kajian filsafat, jarang atau tidak pernah di perkenalkan di SLTA maupun Perguruan Tinggi, apalagi di pesanter-pesantren4.
Barangkali kita sepakat bahwa dengan mengkaji metodelogi penelitian filsafat yang dilakukan para ahli, kita ingin kembali meraih kejayaan islam di bidang ilmu pengetahuan sebagaimana yang pernah di alami di zaman klasik. Hal ini terasa lebih diperlukan pada saat bangsa Indonesia menghadapi tantangan zaman pada era globalisasi yang demikian berat.



BAB 2 ISI

A.    PENGERTIAN FILSAFAT ISLAM
      Dari segi bahasa,filsafat berasal dari kata philo yang berati cinta, dan kata sophos yang berati ilmu atau hikmah.5 Dengan demikian bahasa filsafat berati cinta terhadap ilmu dan hikmah.dalam hubungan ini, AL-Syaibani berpendapat bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sifat positif terhadapnya. Untuk ia mengatakan bahwa filsafat berati mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalama-pengalaman manusia.6
       Selanjutnya kata islam berasal dari bahasa arab aslama, yuslimu, islaman yang berati patuh, tunduk, berserah diri, serta memohon selamat dan sentosa.7 Kata tersebut berasl dari salimah yang berati selamat, sentosa, aman dan damai.8 Selanjutnya islam menjadi istilah atau nama bagi agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat Manusia melalui Nabi Muhamad Saw. sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaranya yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia. Sumber dari ajaran-ajaranyang mengambil berbagai aspek itu ialah Alquran dan Hadis.9
Selanjutnya apa yang dimaksud filsafat islam itu? Untuk  ini terdapat sejumlah pakar yang mengemukakan pendapatnya. Musa Asy’ari misalnya, mengatakan bahwa Filsafat Islam itu pada dasarnya merupakan medan pemikiran yang terus berkembang dan berubah. Dalam kaitan ini diperlukan pendekatan historis terdapat Filsafat Islam yang tidak menekankan pada studi tokoh, tetapi yang lebih penting lagi adalah memahami proses dialetik pemikiran yang berkembang melalui  kajian-kajian tematik atas persoalan-persoalan yang terjadi pada setiap zaman. Oleh karena itu, perlu dirumuskan prinsip-prinsip dasar filsafat islam, agar dunia pemikiran islam terus berkembang sesuai dengan perubahan zaman10. Lebih lanjut Musa Asy’ari berpendapat bahwa filsafat islam dapat di artikan sebagai kegiatan pemikiran yang bercorak islami. Islam disini menjadi jiwa yang mewarnai suatu pemikiran. Filsafat disebut islami bukan karena yang melakukan aktivitas kefilsafatan itu orang yang beragama islam, atau orang yang berkebangsaan arab atau dari segi objeknya yang membahas mengenai pokok-pokok keislaman11.
Selanjutnya dijumpai pula pengertian Filsafat Islam yang dikemukakan Amin Abdullah. Dalam hubungan ini ia mengatakan: “meskipun saya tidak setuju untuk mengatakan bahwa filsafat islam tidak lain dan tidak bukan adalah rumusan pemikiran Muslim yang di tempeli begitu saja dengan konsep filsafat Yunani, namun sejarah mencatat bahwa mata rantai yang menghubungkan gerakan pemikiran filsafat islam era kerajaan Abbasiyah dan dunia luar di wilayah islam, tidak lain adalah proses asimilasi dan akulturasi kebudayaan islam dan kebudayaaan Yunani lewat karya-karya filosof muslim, seperti Al-kindi (185 H/801 M.-260 H./873 M.), Al-Farabi (258 H/870 M.-339 H./950 M.), Ibn Miskawaih (320 H./932 M.-421 H/1030 M.), Al-Farabi (258 H/870 M.-339 H./950 M.), Ibn Sina (370 H/980 M.-428 H/1037 M), Al-Gazali (450 H/1058 M.-505 H/1111 M.)  dan Ibn Rusyd (520 H/1126 M.-595 H/1198 M.) Filsafat profetik (kenabian), sebagai contoh, tidak dapat kita peroleh dari karya-karya Yunani. Filsafat kenabian adalah trade mark  filsafat islam12. Juga karya-karya Ibn Bajjah (wafat 533 H / 1138 M), Ibn Tufail (wafat 581 H./1185 M) adalah spesifik dan orisinal karya filosof muslim. Memang Alqur’an membawa cara yang sama sekali baru untuk melihat Tuhan dan Alam, dan juga membahas hukum-hukum yang tidak dapat diredusir dalam filsafat Yunani13.
Selanjutnya, Damardjati Supadjar berpendapat bahwa dalam istilah filsafat islam dalam arti filsafat tentang islam yang dalam bahasa inggris kita kenal sebagai philosophy of islam. Dalam hal ini islam menjadi bahan telaah, objek material suatu studi dengan sudut pandang atau objek formalnya, yaitu filsafat. Jadi disini islam menjadi genetivus objectivus. Kemungkinan kedua, ialah filsafat islam dalam arti islamic philosophy , yaitu suatu filsafat yang islami. Disini islam Genetivus subjectivus, artinya kebenaran Islam terbabar pada dataran kefilsafatan14.
Dalam pada itu dijumpai pendapat Ahmad Fuad Al-Ahwani yang mengatakan bahwa filsafat islam ialah pembahasan yang meliputi berbagai soal alam semesta dan berbagai macam-macam masalah manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya agama islam15.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, filsafat islam dapat di ketahui melalui lima cirinya sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi sifat dan coraknya, filsafat Islam berdasar pada ajaran islam yang bersumberkan Al-qur’an dan Hadits. Dengan sifat dan coraknya yang demikian itu, filsafat islam berbeda dengan filsafat yunani atau filsafat barat pada umumnya yang semata-mata mengandalkan akal pikiran(rasio). kedua, dilihat dari segi ruang lingkup pembahasannya, filsafat islam mencakup pembahasan bidang fisika atau alam raya yang selanjutnya disebut bidang kosmologi; masalah ketuhanan dan hal-hal yang bersifat yang non materi ,yang selanjutya disebut bidang metafisika; masalah kehidupan di dunia, kehidupan di akhirat; masalah ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan lain sebagainya; kecuali masalah zat ketuhanan. Ketiga, dilihat dari segi datangnya filsafat islam sejalan dengan perkembangan dengan islam itu sendiri, tepatnya ketika bagian dari ajaran islam memerlukan penjelasan secara rasional dan filofis; keempat, dilihat dari segi yang mengambangkannya, filsafat islam dalam arti materi pemikiran filisifatnya, bukan kajian sejarahnya, disajikan oleh orang-orang yang beragama islam, Kindi Al-farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Tufail, Ibn Bajjah. Kelima, dilihat dari segi kedudukannya, filsafat islam sejajar dengan bidang studi keislaman lainnya seperti fiqih, ilmu kalam, tasawuf, sejarah kebudayaan islam dan pendidikan islam.
Berbagai bidang menjadi garapan islam telah diteliti oleh para ahli dengan menggunakan berbagi metode dan pendekatan secara seksama, dan hasilnya telah dapat kita jumpai saat ini. Beberapa hasil penelitian tentang filsafat islam tersebut perlu kita kaji, selain sebagai bahan informasi untuk mengembangkan wawasan kita mengenai filsafat islam, juga untuk mengetahui metode dan pendekatan yang digunakan para peneliti tersebut, sehingga pada gilirannya kita dapat mengembangkan pemikiran filsafat islam dalam rangka menjawab berbagai masalah yang muncul di masyarakat.

B.        MODEL MODEL PENELITIAN FILSAFAT ISLAM :
    Dibawah ini kita sajikan berbagai model penelitian filsafat Islam yang dilakukan para ahli dengan tujuan untuk dijadikan bahan perbandingan bagi pengembangan filsafat islam selanjutnya

1.      Model M. Amin Abdullah
Dalam rangka penulisan disertasinya, M. Amin Abdullah mengambil bidang penelitiannya pada masalah filsafat Islam. Hasil penelitiannya ia tuangkan dalam bukunya berjudul The Idea of Universality Ethical Norm in Ghazali and Kant. Dilihat dari segi judulnya, penelitian ini mengambil metode penelitian kepustakaan yang bercorak deskriptif, yaitu penelitian yang mengambil bahan-bahan kajiannya pada berbagai sumber baik yang ditulis oleh tokoh yang diteliti itu sendiri (Sumber Primer), maupun dari sumber yang ditulis dari orang lain mengenai tokoh yang ditelitinya itu (Sumber Sekunder). Bahan-bahan tersebut selanjutnya diteliti keotentikannya secara seksama, diklasifikasikan menurut variable yang ingin ditelitinya, dalam hal ini masalah etik, dibandingkan antara satu sumber dengan sumber lainnya di deskripsikan (Diuraikan menurut logika berfikir tertentu), dianalisis dan disimpulkan.
Selanjutnya dilihat dari segi pendekatan yang digunakan, M. Amin Abdullah kelihatannya mengambil pendekatan studi tokoh dengan cara melakukan studi komparasi(perbandingan) antara pemikiran kedua tokoh tersebut (Al Ghazali dan Immanuel Kant), khususnya dalam bidang etika.
Hasil penelitian Amin Abdullah dalam bidang filsafat islam selanjutnya dapat dijumpai dalam berbagai karyanya baik yang ditulis secara tersendiri, maupun gabungan dengan karya karya orang lain. Dalam bukunya berjudul Studi Agama Normativitas atau Historisitas, M. amin Abdullah mengatakan ada kekaburan dan  kesimpangsiuran yang patut disayangkan di dalam cara berfikir kita, tidak terkecuali di lingkungan perguruan tinggi dan kalangan akademis. Tampaknya kita sulit membedakan antara filsafat dan sejarah filsafat, antara filsafat islam dan sejarah filsafat islam. Biasanya kita korbankan kajian filsafat, karena kita selalu dihantui oleh trauma sejarah abad pertengahan, ketika sejarah filsafat islam diwarnai oleh pertentangan pendapat dan perlehatan pemikiran antara Al Ghazali dan Ibnu Sina, yang sangat menentukan jalannya sejarah pemikiran umat islam.
Kritik Amin Abdullah tersebut timbul setelah ia melihat melalui penelitiannya, bahwa sebagian penelitian filsafat islam yang dilakukan para ahli selama ini berkisar pada masalah sejarah filsafat islam, dan bukan pada materi filsafatnya itu sendiri.
Penelitian yang polanya mirip dengan Amin Abdullah tersebut dilakukan pula oleh Sheila Mc Donough dalam karyanya berjudul Muslim Ethics and Modernity, A Comparative Study of The Ethical Thought of Sayyid Ahmad Khan and Mawlana Mawdudi. Buku tersebut telah diterbitkan oleh Wilfrid Laurier University Press, Kanada, pada tahun 1984. Dalam buku tersebut yang dijadikan objek penelitian adalah Ahmad Khan dan Mawlana Mawdudi yang keduannya adalah orang Pakistan dan telah dikenal di dunia islam. Penelitian tersebut termasuk kategori penelitian kualitatif, berdasar pada sumber kepustakaan yang ditulis oleh kedua tokoh tersebut atau oleh orang lain mengenai tokoh tersebut. Sedangkan corak penelitiannya adalah penelitian deskriptip analitis, sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan tokoh dan komparatif studi. Melalui penelitian demikian akan dapat dihasilkan kajian mendalam dalam salah satu bidang kajian, serta latar belakang pemikiran yang menyebabkan mengapa kedua tokoh tersebut mengemukakan pendapatnya seperti itu.

2.      Model Otto Horrassowitz, Majid Fakhry dan Harun Nasution
Dalam bukunya berjudul History of Muslim philosophy, yang diterjemahkan dan disunting oleh M.M Syarif ke dalam bahasa Indonesia menjadi Para Filosof Muslim,  Otto Horrassowitz telah melakukan penelitian terhadap seluruh pemikiran filsafat Islam yang berasal dari tokoh tokoh filosof abad klasik, yaitu Al Kindi, Ar Razi, Al Farabi, Ibn Miskawaih, Ibn Sina, Ibnu Bajjah, Ibnu Tufail, Ibn Rusyd dan Nasir Al Din Al Tusi. Dari Al Kindi dijumpai pemikiran filsafat tentang Tuhan, keterhinggaan, ruh dan akal. Dari Ar Razi dijumpai pemikiran filsafat tentang teologi, moral, metode, metafisika, Tuhan, Ruh, Materi, Ruang, dan Waktu. Selanjutnya, dari Al Farabi dijumpai pemikiran filsafat tentang logika, kesatuan filsafat, teori sepuluh kecerdasan, teori tentang akal, teori tentang kenabian, serta penafsiran atas Al Qur’an. Selanjutnya dari Ibn Miskawaih dijumpai pemikiran Filsafat tentang Moral, Pengobatan Rohani, dan Filsafat sejarah. Dalam pada itu dari Ibn Sina dikemukakan pemikiran filsafat tentang wujud, hubungan Jiwa dan raga, ajaran kenabian, Tuhan dan Dunia. Dari Ibnu Bajjah dijumpai pemikiran filsafat tentang materi dan bentuk, psikologi, akal dan pengetahuan, Tuhan, sumber pengetahuan, politik, etika, dan tasawuf. Dari Ibn Tufail dikemukakan pemikiran filsafat tentang akal dan wahyu sebagai yang dapat saling melengkapi yang dikemas dalam Novel fiktifnya berjudul Hay Ibn Yaqzan yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia: Tujuan risalah, Doktrin tentang dunia, Tuhan, Kosmologi cahaya, epistomologi, etika, filsafat, dan agama. Selanjutnya dari Ibn Rusyd, dikemukakan pemikiran filsafat tentang hubungan filsafat dan agama, jalan menuju Tuhan, jalan menuju Pengetahuan, jalan menuju ilmu, dan jalan menuju wujud. Dalam pada itu dari Nasir Al din Tusi dikemukakan pemikiran filsafat tentang akhlak nasiri, ilmu rumah tangga, politik, sumber filsafat praktis, psikologi, metafisika, Tuhan, Creatio ex nibilo, kenabian, baik dan buruk serta logika.
Selain mengemukakan berbagai pemikiran filosofis sebagaimana tersebut diatas, Horrassowiz juga mengemukakan mengenai riwayat hidup serta karya tulis dari masing masing tokoh tersebut. Untuk mendalami berbagai pemikiran filosofis tersebut silakan anda langsung membaca buku tersebut, karena disini hanya dikemukakan dari sisi penelitiannya saja.
Dengan demikian jelas terlihat bahwa penelitiannya termasuk penelitian kualitatif. Sumbernya kajian pustaka, metodenya deskriptis analitis, sedangkan pendekatannya historis dan tokoh. Yaitu bahwa apa yang disajikan berdasarkan data-data yang ditulis ulama terdahulu, sedangkan titik kajiannya adalah tokoh.
Penelitian serupa itu juga dilakukan oleh Majid Fakhry. Dalam bukunya berjudul A History of Islami Philosophy dan diterjemahkan oleh mulyadi kartanegara menjadi sejarah  filsafat Islam, Majid Fakhry selain menyajikan hasil penelitiannya tentang Ilmu Kalam, Mistisme, dan kecenderungan-kecenderungan modern dan kotemporer juga berbicara tentang filsafat. Khusus dalam bidang filsafat, ia berbicara tentang Al Kindi, Ibn Ar Rawandi, Ar Razi, Abu Hayyan Al Tauhidy, Ibn Maskawaih, Yahya bin adi , Ibn Massarah, Al Majrithi, Ibn Bajjah, Ibn Tufail, Ibn Rusyd, As Suhrawardi dan Shadr Ad Din Asy Syirazi. Majid Fakhry selain mengemukakan riwayat hidup dan karya-karya dari masing-masing tokoh tersebut juga mengemukakan pemikirannya dalam bidang filsafat.
Penelitiannya tersebut tampaknya menggunakan campuran, yaitu selain menggunakan  pendekatan historis juga menggunakan pendekatan kawasan, bahkan pendekatan subtansi. Melalui pendekatan historis, ia mencoba meneliti latar belakang munculnya berbagai pemikiran filsafat dalam islam. Sedangkan dengan pendekatan kawasan, ia mencoba mengelompokkan para filosof kedalam kelompok timur dan barat (dalam hal ini spanyol), dan dengan pendekatan substansi, ia mencoba mengemukakan berbagai pemikiran filsafat yang dihasilkan dari berbagai tokoh tersebut. Untuk lebih mendalami materi kajian yang dikemukakan oleh para tokoh tersebut silakan anda langsung menelan buku tersebut.
Dalam pada itu Harun Nasution, juga melakukan penelitian filsafat dengan menggunakan bahan bahan bacaan baik yang ditulis oleh tokoh yang bersangkutan maupun penulis lain yang berbicara mengenai tokoh tersebut, dengan demikian penelitiannya bersifat kualitatif.
Melalui pendekatan tokoh, Harun Nasution mencoba menyajikan pemikiran filsafat berdasarkan tokoh yang ditelitinya yang dalam hal ini Al Kindi, Al Farabi, Ibn Sina, Al Ghazali, dan Ibn Rusyd. Sedangkan dengan pendekatan historis, Harun Nasution mencoba menyajikan tentang sejarah timbulnya pemikrian filsafat islam yang dimulai dengan kontak pertama antara islam dan ilmu pengetahuan serta falsafah Yunani.

3.      Model Ahmad Fuad Al Ahwani
Ahmad Fuad Al Ahwani termasuk pemikir modern dari Mesir yang banyak mengkaji dan meneliti bidang filsafat islam. Salah satu karyanya dalam bidang filsafat berjudul filsafat islam. Dalam bukunya ini ia selain menyajikan sekitar problem filsafat islam juga menyajikan tentang zaman penerjemahan, dan filsafat yang berkembang di kawasan Masyriqi dan Maghribi. Di kawasan Maghribi ia kemukakan Ibn Bajjah, Ibn Tufail dan Ibn Rustd. Selain mengemukakan riwayat hidup serta karya dari masing-masing tokoh filosof tersebut, dikemukakan tentang jasa dari masing masing filosof tersebut serta pemikirannya dalam bidang filsafat.
Dengan demikian, metode penelitian yang ditempuh Ahmad Fuad Al Ahwani adalah penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang menggunakan bahan-bahan kepustakaan. Sifat dan coraknya adalah penelitian deskriptif kualitatif, sedangkan pendekatannya adalah pendekatan yang bersifat campuran, yaitu pendekatan historis, pendekatan kawasan dan tokoh. Melalui pendekatan historis, ia mencoba menjelaskan latar belakang timbulnya pemikiran filsafat Islam, sedangkan dengan pendekatan kawasan ia mencoba membagi tokoh tokoh filosof menurut tempat tinggal mereka, dan dengan pendekatan tokoh, ia mencoba mengemukakan berbagai pemikiran filsafat sesuai dengan tokoh yang mengemukakannya.
Berbagai hasil penelitian yang dilakukan para ahli mengenai filsafat islam tersebut memberi kesan kepada kita, bahwa pada umumnya penelitian yang dilakukan bersifat penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang menggunakan bahan-bahan bacaan sebagai sumber rujukannya. Metode yang digunakan umumnya bersifat deskriptif analitis. Sedangkan pendekatan yang digunakan umumnya pendekatan historis, kawasan, dan subtansial. Penelitian dan pengkajian filsafat demikian sulit diharapkan dapat melahirkan para filosof. Penelitian tersebut belum berhasil mengangkat dasar pemikiran yang membentuk filsafat itu sendiri. Pengkaji filsafat biasanya terbiasa dengan diskusi dan perbincangan yang begitu mendalam tentang uraian-uraian dan kutipan filosofis, hampir seolah-olah kutipan kutipan filosofis itu baru saja dihasilkan dan seolah-olah tidak mengalami kesulitan interpretasi yang melelahkan.
Berdasarkan informasi tersebut, sebenarnya masih terbuka luas objek penelitian di bidang filsafat Islam, yaitu objek yang berkenaan dengan cara atau metode yang digunakan oleh para filosof terdahulu untuk kemudian dijadikan sebagai bahan perbandingan untuk selanjutnya digunakan bagi kepentingan pengembangan pemikiran filsafat lebih lanjut.



BAB 3 PENUTUP

Apa yang dikemukakan para peneliti terhadap pemikiran filsafat Islam tersebut nampak selalu menyajikan tokoh yang dari satu sisi ada tokoh yang bersamaan diteliti, dan ada pula tokoh yang tidak diangkat oleh peneliti yang satu, namun oleh peneliti lainnya diangkat. Kita tidak tahu persis mengapa hal itu bisa terjadi. Apakah karena keterbatasan sumber rujukan yang dimiliki masing masing atau karena maksud lainnya yang disebabkan karena peneliti tersebut kurang tertarik atau tidak sejalan dengan tokoh filosof yang ditelitinya.
Dewasa ini setahap demi setahap pemikiran filsafat islam atau berfikir secara filosofis sudah mulai diterima masyarakat. Berbagai kajian di bidang keagamaan selalu dilihat dari segi pemikiran filosofisnya, sehingga makna subtansial, hakikat, inti, dan pesan spiritual dari setiap ajaran keagamaan tersebut dapat ditangkap dan dihayati dengan baik. Tanpa bantuan filsafat, masyarakat cenderung terjebak kedalam bentuk ritualistik semata mata tanpa tahu apa pesan filosofis yang terkandung dalam ajaran tersebut. Filsafat juga semakin diperlukan dalam situasi yang semakin memadu dan menyatu antara satu bidang pengetahuan dengan pengetahuan lainnya.
Filsafat islam itu sendiri sangat banyak sekali diadopsi oleh filasafat yunani (barat) sehingga kebanyakan orang-orang islam itu sendirilah yang cenderung lebih bersifat menerima akan doktrin-doktrin Al-Qur’an dan Al-Hadits. Medote Diakronislah yang kami pakai dalam makalah ini, dengan membandingkan antara filsafat islam dan filsafat yunani. Kemudian kami mengasumsikan bahwa ternyata akan ada studi komparasi dari kesemuaan itu.


BAB 4 LAMPIRAN

1.      Sumber-sumber dan hasil pemikiran kami
1Berpikiran maju antara lain ditandai dengan pemikiran sifat terbuka, rasional, kritis objektif, berorientasi kedepan, dinamis dan mau mengikuti perubahan zaman, tanpa meninggalkan prinsip atau ajaran yang bersifat asasi.
2Diantara kitab yang berisi tentang mantiq (logika) yang dikaji di kalangan pesantren adalah sulamut taufik, sebuah kitab kecil yang berisikan kaidah-kaidah yang mengenai cara berpikir logis.
3Orang lupa bahwa ketika Al-Ghazali menyerang konsepsi metafisika Ibn Sina, sebenarnya bukan secara serta merta dia memvonis seluruh kajian filsafat. Logika, matimatika, natural, science, tidak ikut terserang. Bahkan Al-Ghazali sendiri sangat menyayangkan adanya sikap perduice kaum teolog (ulama) terhadap ilmu-ilmu ini  karena hal ini akan melemahkan dan membahayakan unuk agama itu sendiri. Amat disayangkan umat islam pada umumnya menganggap kritik Al-Ghazali tersebut juga kritik untuk seluruh kajian filsafat, termasuk didalamnya logika, etika, filsafat agama, filsafat ilmu, filsafat bahasa, dan filsafat sosial. Memahami kritik Al-Ghazali terhadap Ibn Sina tanpa terkecuali tidak benar.
4Ibid.,hlm.vii-viii.
5Louis O. Kattsof, pengantar filsafat (terj.) soejono soemargono dari judul asli element of philosophy, ( Yogyakarta: Bayu Indra Grafika,1989).
6Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, filsafat pendidikan islam (terj.) Hasan langgulung dari judul asli Filsafat al-tarbiyah al-islamiyah,(jakarta: bulan bintang 1979).
7Lihat Maulana Muhammad Ali, islamologi dinul islam (terj.) R.Kaelani dan H.M.Bachrun , (jakarta: Ichtiar Baru Van-Hoeve, 1980).
8Ibid.,hlm.60.
9harun Nasution,IslamDinjau Dari berbagai Aspeknya,(Jakarta:Universitas Indonesia,1979),cet.I,hlm.24.
10musa asy’ari, Filsafat Islam suatu tinjauan Ontologis dalam Irna Fatimah(Ed.) Filsafat Islam, (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam,1992).
11Ibid, hlm.15.
12Roger Garaudi, Janji-janji Islam (terj.) H.M.Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang 1982).
13Amin Abdullah, Aspek Estimologis Filsafat Islam dalam Irna Fatimah(Ed), Filsafat Islam, (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam,1992).
14Damardjati Supadja, Sosok dan Spersfektif Filsafat Islam Tinjauan Aksiologis,dalam Ibid hlm 52-53.
15Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, (terj.) Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus ,1985).